mofotechblog.com

mofotechblog.com – Presiden Filipina Ferdinand Marcos telah secara tegas menyatakan penolakannya untuk menyerahkan mantan presiden Rodrigo Duterte kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Pernyataan ini muncul dalam konteks penyelidikan ICC atas perang melawan narkoba selama masa jabatan Duterte, yang ditandai dengan eksekusi tanpa pengadilan terhadap individu yang dicurigai terlibat dalam perdagangan obat terlarang.

Posisi Filipina Mengenai Yurisdiksi ICC

Dalam pernyataan yang diberikan pada Senin (15/4), dalam forum Asosiasi Koresponden Asing Filipina, Marcos mengutip dari AFP menyampaikan bahwa Filipina tidak mengakui surat perintah penyidikan dari ICC dan menegaskan bahwa sikap negara tersebut konsisten dengan hukum internasional yang tidak mengakui yurisdiksi ICC di Filipina.

Sejarah Kampanye Anti-Narkoba dan Penarikan dari ICC

Kampanye anti-narkotika yang dicanangkan Duterte pada 2016 telah mengakibatkan ribuan kematian di Filipina. Respon terhadap penyelidikan ICC atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dimulai pada masa itu, membuat Duterte memutuskan untuk menarik Filipina dari keanggotaan ICC pada tahun 2019. Sejak itu, Filipina telah bertindak dengan lebih bebas dalam kampanye anti-narkoba mereka.

Respons ICC terhadap Tindakan Filipina

Pada September 2021, ICC memulai penyelidikan resmi atas kebijakan keras Duterte terhadap narkoba, namun penyelidikan ini ditangguhkan dua bulan kemudian karena Filipina mengklaim sedang melakukan tinjauan ulang terhadap ratusan kasus yang berkaitan. ICC meminta untuk membuka kembali penyelidikan pada Juni 2022, dan hakim pra-sidang akhirnya memberikan persetujuan pada akhir Januari 2023.

Upaya Banding Filipina dan Penolakan oleh ICC

Pemerintahan Manila, setelah keputusan hakim pra-sidang tersebut, mengajukan banding, tetapi gagal memenangkan kasus ini di pengadilan.

Akibat Kampanye Anti-Narkoba

Lebih dari 6.000 kematian telah dicatat selama operasi anti-narkoba di bawah kepresidenan Duterte, menurut angka resmi dari Filipina. Namun, jaksa ICC memperkirakan jumlah korban jiwa yang jauh lebih tinggi, berkisar antara 12 ribu hingga 30 ribu orang.

Pemerintahan Filipina saat ini, di bawah kepemimpinan Ferdinand Marcos, menunjukkan penolakan yang kuat terhadap intervensi ICC dalam kasus yang berkaitan dengan kebijakan anti-narkoba era Duterte. Keputusan ini menegaskan kembali kedaulatan negara dan menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan ruang lingkup yurisdiksi pengadilan internasional dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang kompleks.